Tak Ada Jalan Lain merupakan judul dari salah
satu cerpen karya karya almarhum YB
Mangunwijaya yang termuat dalam kumpulan
cerpen yang berjudul Rumah Bambu”. Dalam
cerpen Tak Ada Jalan Lain, YB Mangunwijaya
menampilkan potret kehidupan orang-orang yang
hadir dalam kesehariannya, orang miskin, orang
yang terpinggirkan, orang yang selalu tersisih
dan putus asa, dan berbagai bentuk
keterpurukan lainnya. Dari gambaran tersebut
tercermin kesederhanaan YB Mangunwijaya
dalam membangun sebuah cerita, mulai dari
kesederhanaan tema,
nama tokoh, dan juga
latar ceritanya. Berangkat
dari kesederhanaan
tersebut, YB
Mangunwijaya telah
berhasil menghadirkan
karya yang besar. Selain
itu, ia juga dikenal
sebagai orang yang
mempunyai perhatian
lebih terhadap orang-orang yang golongan
bawah dan terpinggirkan, hal itu terlihat dari
berbagai tulisannya maupun dari perbuatannya
sebagai umat beragama. Lewat tulisan dan
perbuatannya itu, YB Mangunwijaya
menunjukkan bahwa dalam hal-hal yang pada
awalnya dianggap enteng, remeh, dan tak
bernilai, tersimpan hal-hal besar yang tak
terduga sebelumnya.
Walaupun YB Mangunwijaya menceritakan
tentang keputusasaan dan kesedihan dalam Tak
Ada Jalan Lain, tetapi masih ada harapan dan
rasa syukur di sela-selanya. Ia merupakan orang
besar yang bangga dengan "status sosial"-nya
sebagai seorang manusia biasa, manusia sehari-
hari, walau banyak orang mengakui bahwa dia
adalah seorang budayawan dan pemikir
terkemuka. Ciri-ciri budayawan dalam diri YB
Mangunwijaya juga tercermin dalam cerpen Tak
Ada Jalan Lain, seperti penggunaan nama tokoh
“Baridin” yang merupakan nama tokoh dalam
salah satu lakon drama seni tradisional Tarling
dari daerah Cirebon, penggambaran fisik
“Baridin” dengan perumpamaan “wayang kulit”,
dan juga penggambaran sifat “Baridin” lewat
sifat dari Rara Ireng atau Sembadra (istri
Arjuna).
Ditinjau dari segi nama, nama “Baridin”
mempunyai hubungan dengan nama dari tokoh
utama lakon drama Baridin dalam seni
tradisional Tarling (gitar suling) dari daerah
Cirebon. Lakon drama Baridin menceritakan
seorang pemuda miskin bernama “Baridin” yang
cintanya ditolak oleh gadis cantik dari keluarga
kaya raya. Dalam Tak Ada Jalan Lain, tokoh
“Baridin” diceritakan sebagai seorang pemuda
yang tidak mempunyai pacar karena ia merasa
tidak ada yang mau menjadi pacar orang miskin
sepertinya. Kesamaan nama tokoh dalam cerpen
Tak Ada Jalan Lain dan lakon drama Baridin
merupakan suatu simbol dari keterpurukan
seorang lelaki sebagai akibat dari kemiskinan.
Namun dalam cerpen Tak Ada Jalan Lain,
keterpurukan yang dialami “Baridin” lebih
difokuskan pada masalah pencarian nafkah,
sedangkan pada lakon drama Baridin, cerita lebih
fokus pada kisah asmara “Baridin”. Ciri fisik
tokoh “Baridin” tergambar dalam berbagai tanda
yang diberikan pengarang (YB Mangunwijaya).
Gambaran mengenai kulit hitam “Baridin” dapat
dilihat pada kutipan berikut. Sudah dua bulan
lebih pemuda sonokeling bermuka lancip seperti
wayang kulit itu menimbang-nimbang antara
malu dan marah. Kayu sonokeling merupakan
kayu yang berwarna hitam, sehingga
penggambaran kulit hitam “Baridin” disimbolkan
dengan “pemuda sonokeling”. Selain itu, kutipan
tersebut juga menyimpan simbol dari bentuk
muka “Baridin” yang menyudut atau lancip, yaitu
“seperti wayang kulit”, yang dari strukturnya,
wayang kulit memang didominasi oleh sudut-
sudut lancip. Penggambaran fisik “Baridin” yang
memiliki kulit hitam juga dapat dilihat pada
kutipan berikut. Bedak diusap-usapkan pada
muka, leher, dan bagian dada. Merata memang,
tetapi seperti binteng, itu manisan tradisional
jahe gula hitam yang selalu dijual dalam selaput
tepung beras putih.
Binteng, seperti digambarkan YB Mangunwijaya,
adalah manisan tradisional yang berwarna hitam
dari campuran jahe dan gula yang diselimuti oleh
tepung beras di permukaannya. Walaupun
diselimuti tepung beras, warna hitam dari
binteng tetap terlihat dominan. Penggambaran
itu merupakan simbol dari kulit hitam “Baridin”
yang tetap terlihat hitam walau telah dibedakki
secara merata. Bagaimana mungkin kulit hitam
dapat cantik. Tetapi yang perlu: kesan wedok
harus menarik seperti besi-berani yang hitam
juga. Dan memang kata tetangga, wajah dan
perangai Baridin sering seperti Rara Ireng, itu
istri Arjuna yang kelak disebut Sumbadra, sang
wanita lemah lembut. Pada kutipan tersebut,
“Baridin” sebagai pemuda yang dengan kulit
hitam, dikatakan seperti Rara Ireng (nama kecil
Sembadra) yang lemah lembut, sehingga menarik
seperti besi-berani yang pada umumnya juga
berwarna hitam. Kesan “kulit hitam” tampaknya
memang ditonjolkan pengarang untuk
menghidupkan karakter tokoh “Baridin”.
Ditinjau dari judul, Tak Ada Jalan Lain
menandakan adanya “jalan” yang merupakan
satu-satunya jalan. “Jalan” yang dimaksud
adalah jalan yang bisa dan mampu ditempuh
oleh seorang “Baridin” untuk mencari nafkah
dengan cara yang halal. YB Mangunwijaya
“menyatakan” bahwa jalan satu-satunya yang
sepadan antara usaha dan hasil. Pada
umumnya, seseorang dalam berusaha
menginginkan hasil yang banyak dengan sedikit
usaha. Namun “Baridin, dengan sifatnya yang
lugu dan sederhana rela menempuh “jalan” yang
dianggap hina oleh masyarakat dengan hanya
mendapatkan hasil yang sepadan atau bahkan
kurang dari usaha yang dijalaninya. Judul cerpen
tersebut juga berhubungan dengan tanda-tanda
yang merujuk pada sifat “Baridin” sebagai tokoh
utama. Untuk memunculkan Tak Ada Jalan Lain,
diperlukan sifat-sifat seorang pemuda yang
mendukung terciptanya pilihan “satu jalan” yang
harus ditempuh karena ketidakmampuan untuk
memilih jalan lain. “Baridin” adalah seorang
pemuda yang kurang berhasil dalam usaha
mencari nafkah. Ia digambarkan sebagai lelaki
yang lemah, kalah bersaing dengan orang lain
untuk mendapatkan pekerjaan. Baginya, standar
hidup hanya semata-mata hanya diukur dari
jumlah uang. Baridin sebenarnya adalah seorang
lelaki normal, tetapi karena kehabisan akal
dalam mencari pekerjaan, ia memilih jalan
sebagai seorang pengamen waria.
Sebagai seorang lelaki, “Baridin" tetap bimbang
untuk menjalani profesi tidak umum tersebut. YB
Mangunwijaya memilih istilah wadam (hawa-
adam) dan priwa (pria-wanita) untuk menyebut
transeksual. Kedua istilah tersebut sekarang
telah diganti dengan waria (wanita-pria).
Digunakannya istilah-istilah tersebut digunakan
oleh pengarang untuk menegaskan bahwa
“Baridin” bukanlah transeksual, tetapi hanya
pemuda biasa, lelaki biasa, ataupun lelaki
normal. Ia tetap mempunyai rasa malu dan juga
marah ketika diperolok-olok oleh orang-orang
disekitarnya, namun “Baridin tetap bertahan,
karena “tak ada jalan lain” selain itu. Pekerjaan
yang dilakoni Baridin adalah pengamen.
Seorang pengamen pada umumnya menguasai
alat musik tertentu untuk menarik perhatian
orang dengan nada dan harmonisasi yang
dihasilkannya. Salah satu alat musik yang lazim
digunakan adalah gitar. Namun “Baridin” tidak
menguasai alat musik tersebut dan terpakasalah
menggunakan simbal (yang dipinjam “Baridin”
secara ilegal dari paguyuban Zamroh di desanya,
hal tersebut menunjukkan bahwa “Baridin” tidak
meminta izin untuk meminjam simbal tersebut,
atau bahkan mencurinya) yang tidak akan
menghasilkan nada-nada yag enak didengar jika
hanya dibunyikan sendiri (tidak dipadukan
dengan alat musik lain). Oleh karena itu, Baridin
mencari cara lain untuk menarik perhatian orang,
yaitu dengan mendandani dirinya dengan segala
pernak-pernik yang umum dipakai oleh kaum
hawa. Walaupun menjijikan, tetapi setidaknya
“Baridin” mendapat sambutan yang berbeda bila
dibandingkan bila ia hanya memainkan simbal
tanpa ada usaha lain. Bagi seorang waria, YB
Mangunwijaya berpendapat bahwa selain
tampilan luar yang menyerupai wanita, sikap
fisik juga mendukung terciptanya kesan
kewanitaan (lenggak-lenggok, untuk
memunculkan kesan sexy).
Ibu “Baridin” dapat dikatakan simbol dari ibu
yang sabar. Walau pada awalnya ia menyesali
keputusan “Baridin” untuk menjadi pengamen
waria, tetapi pada akhirnya ia bisa menerima dan
merelakan anaknya untuk menjadi pengamen
waria demi untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Keluguan seorang wanita juga dapat ditemui
pada tokoh “Ibu” Baridin. Ia menganggap pelacur
selalu berpenyakit kotor, sehingga
mengharuskannya untuk mencuci kain yang
hanya “mampir” di kamar seorang pelacur
(Ruyem) dengan karbol, walaupun pelacur itu
tidak pernah menyentuhnya. Ruyem adalah
pacar dari teman Baridin yang disebutnya
dengan nama “si Kampret”. Ia adalah seorang
wanita yang dapat mewakili sifat seorang
pelacur. Hal tersebut ditunjukkan dengan
menggenggam kemaluan Baridin dengan maksud
untuk menyadarkan bahwa seorang lelaki harus
percaya diri. Bagi seorang pelacur, melakukan
perbuatan asusila merupakan satu-satunya jalan
untuk mendapatkan uang dengan “mudah”.
Namun Ruyem juga masih memiliki sisi
kemanusian, hal tersebut dapat dilihat saat ia
menolak uang pemberian “Baridin sebagai balas
jasa atas kesediaan Ruyem meminjamkan wig
dan tempat untuk berdandan, dan bahkan
memberikan uang kepada “Baridin” untuk
menambah jumlah uang yang akan
disumbangkan untuk ibunya. “Si Kampret” dapat
dikatakan sebagai soeorang preman yang
“menguasai” daerah tertentu, sehingga “Baridin”
merasa aman untuk mengamen di daerah
tersebut.
sumber....